A.I.D.S.
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS)
adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV;[1] atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain).
Virusnya sendiri bernama Human
Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah
kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan
terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah
ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum
benar-benar bisa disembuhkan.
HIV dan virus-virus sejenisnya
umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang
mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu.[2][3] Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan
tubuh tersebut.
Para ilmuwan umumnya berpendapat
bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara.[4] Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia.[5] Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian
lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan
dalam sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3
juta jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah
anak-anak.[5] Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga
memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia
di sana. Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut
tidak tersedia di semua negara.[6]
Hukuman sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila
dibandingkan dengan penderita penyakit mematikan lainnya. Kadang-kadang hukuman
sosial tersebut juga turut tertimpakan kepada petugas kesehatan atau
sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang yang hidup dengan HIV/AIDS
(ODHA).
Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan.[8][9] Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.
Kanker dan tumor ganas (malignan)
Pasien dengan infeksi HIV pada
dasarnya memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya beberapa kanker.
Hal ini karena infeksi oleh virus DNA penyebab mutasi genetik; yaitu terutama virus Epstein-Barr (EBV), virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV),
dan virus papiloma manusia (HPV).[21][22]
Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum
menyerang pasien yang terinfeksi HIV. Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda
homoseksual tahun 1981 adalah salah satu pertanda pertama wabah
AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari subfamili gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia-8 yang juga disebut virus herpes Sarkoma
Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk bintik
keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain, terutama mulut,
saluran pencernaan, dan paru-paru.Kanker getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang menyerang sel darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening, misalnya seperti limfoma Burkitt (Burkitt's lymphoma) atau sejenisnya (Burkitt's-like lymphoma), diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL), dan limfoma sistem syaraf pusat primer, lebih sering muncul pada pasien yang terinfeksi HIV. Kanker ini seringkali merupakan perkiraan kondisi (prognosis) yang buruk. Pada beberapa kasus, limfoma adalah tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian besar disebabkan oleh virus Epstein-Barr atau virus herpes Sarkoma Kaposi.
Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS. Kanker ini disebabkan oleh virus papiloma manusia.
Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma Hodgkin, kanker usus besar bawah (rectum), dan kanker anus. Namun demikian, banyak tumor-tumor yang umum seperti kanker payudara dan kanker usus besar (colon), yang tidak meningkat kejadiannya pada pasien terinfeksi HIV. Di tempat-tempat dilakukannya terapi antiretrovirus yang sangat aktif (HAART) dalam menangani AIDS, kemunculan berbagai kanker yang berhubungan dengan AIDS menurun, namun pada saat yang sama kanker kemudian menjadi penyebab kematian yang paling umum pada pasien yang terinfeksi HIV.[23]
Infeksi oportunistik lainnya
Pasien AIDS biasanya menderita
infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik, terutama demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi
oportunistik ini termasuk infeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan virus sitomegalo. Virus sitomegalo dapat menyebabkan gangguan
radang pada usus besar (kolitis) seperti yang dijelaskan di atas, dan gangguan
radang pada retina mata (retinitis
sitomegalovirus), yang dapat menyebabkan
kebutaan. Infeksi yang disebabkan oleh jamur Penicillium
marneffei, atau disebut Penisiliosis, kini adalah infeksi oportunistik ketiga
yang paling umum (setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang positif HIV di daerah
endemik Asia Tenggara.
Penyebab :
AIDS merupakan bentuk terparah
atas akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem
kekebalan manusia, seperti sel T CD4+ (sejenis sel T),
makrofaga, dan sel dendritik. HIV merusak sel T CD4+ secara
langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar
sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4+
hingga jumlahnya menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter (µL) darah, maka kekebalan di tingkat sel akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi
yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten
klinis, kemudian timbul gejala infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang
diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T CD4+ di dalam darah
serta adanya infeksi tertentu.
Tanpa terapi antiretrovirus, rata-rata lamanya perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah
sembilan sampai sepuluh tahun, dan rata-rata waktu hidup setelah mengalami AIDS
hanya sekitar 9,2 bulan.[25] Namun demikian, laju perkembangan penyakit ini pada
setiap orang sangat bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun. Banyak
faktor yang memengaruhinya, diantaranya ialah kekuatan tubuh untuk bertahan
melawan HIV (seperti fungsi kekebalan tubuh) dari orang yang terinfeksi.[26][27] Orang tua umumnya memiliki kekebalan yang lebih lemah
daripada orang yang lebih muda, sehingga lebih berisiko mengalami perkembangan
penyakit yang pesat. Akses yang kurang terhadap perawatan kesehatan dan adanya
infeksi lainnya seperti tuberkulosis, juga dapat mempercepat perkembangan
penyakit ini.[25][28][29] Warisan genetik orang yang terinfeksi juga memainkan peran
penting. Sejumlah orang kebal secara alami terhadap beberapa varian HIV. [30] HIV memiliki beberapa variasi genetik dan berbagai
bentuk yang berbeda, yang akan menyebabkan laju perkembangan penyakit klinis
yang berbeda-beda pula.[31][32][33] Terapi antiretrovirus yang sangat aktif akan dapat
memperpanjang rata-rata waktu berkembangannya AIDS, serta rata-rata waktu
kemampuan penderita bertahan hidup.Penularan seksual
Penularan (transmisi) HIV secara
seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan
preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif
tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa
pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan
seks biasa dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat
masuk melalui seks oral reseptif maupun insertif.[34] Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko
penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi
trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.[35]
Penyakit
menular seksual meningkatkan risiko penularan
HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok
alat kelamin, dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofaga) pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian
epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa,
dan Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat
kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin
seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko tersebut juga meningkat secara
nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit
dan makrofaga.[36]Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan antarorang. Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV.[36][37] Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual.[38][39] Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan.
Kontaminasi patogen melalui darah
Jalur penularan ini terutama
berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan
kembali jarum suntik (syringe) yang mengandung darah yang
terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab penyakit (patogen), tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV,
tetapi juga hepatitis B dan hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab
sepertiga dari semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat Cina, dan Eropa Timur. Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan
jarum yang digunakan orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure
prophylaxis dengan obat anti-HIV dapat lebih
jauh mengurangi risiko itu.[40] Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja
laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga dikhawatirkan walaupun lebih jarang.
Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang memberi dan menerima rajah
dan tindik tubuh. Kewaspadaan universal sering kali tidak dipatuhi baik di Afrika
Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak
mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara
ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman.[41] Oleh sebab itu, Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa,
didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini, mendorong negara-negara di
dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk mencegah penularan HIV melalui
fasilitas kesehatan.[42]
Resiko penularan HIV pada penerima transfusi
darah sangat kecil di negara maju. Di negara maju, pemilihan donor bertambah
baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun demikian, menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak memiliki
akses terhadap darah yang aman dan "antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia
terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi"
0 komentar:
Post a Comment